Pengertian Ontologi dan 5 Pandangan dalam Melihat Kenyataan
Penulis: Dian Dwi Jayanto
Ontologi berasal dari bahasa Yunani yang berarti “yang ada”. Ontologi juga mengandung pula di dalamnya kata logos (rasional).
Dari kesatuan yang terjalin dalam sudut pandang bahasa tersebut, sederhananya ontologi adalah “cabang filsafat yang membicarakan tentang asas-asas rasional dari yang ada” (Kattsoff, 2004:73-74). Lain kata, ontologi adalah lapangan filsafat yang berbicara dengan basis rasio tertentu tentang teori tentang “yang ada” beserta sifat dasar dan ragam kenyataannya.
Ontologi memiliki akar sejarah sangat tua. Bahkan penyelidikan tentang apa sejatinya kenyataan yang disebut “ada” menjadi proyek utama para filsuf klasik pra-socrates. Kenyataan tentang yang ada lekat kaitannya dengan pemikiran metafisika seperti pembahasan kita terdahulu.
Adalah Thales (sekitar abad ke 6 SM) yang dianggap sebagai perintis filsafat (dari mitos menuju logos). Filsuf dari Miletos tersebut berpendapat bahwa air adalah substansi prima yang membentuk alam semesta. Air adalah cikal-bakal yang kemudian menjadi terciptanya dunia. Air adalah sumber kehidupan berikut sumber kehancuran.
Pendapat Thales tentang air sebagai substansi inti alam semesta tidak perlu didalami kebenaran pernyatannya, yang terpenting adalah bagaimana ia memiliki pemikiran yang berlainan dengan zamannya.
Kita bisa saja melihat kayu, batu, tanah, api, dan lain-lain sebagaimana apa adanya. Di tangan Thales, ia bersepekulasi secara bebas (berdasarkan pengamatannya sebagai saudagar yang melihat sungai Nil di Mesir) bahwa air adalah sumber kehidupan dan awal segala sesuatu.
Dengan demikian, menurut Thales kenyataan sejati atau apa yang sebenarnya awal dari “ada” adalah air.
Pembahasan tentang Thales dapat dibaca di sini:
Mengapa Yunani Disebut sebagai Tempat Kelahiran Filsafat dan Ilmu Pengetahuan?
Thales, Anaximander dan Anaximenes, Filsafat Alam Mazhab Milesian
Thales adalah contoh dari lapangan penyelidikan tentang ontologis, bagaimana ontologi adalah penggalian tentang kenyataan (reality) sesungguhnya atau apa yang dianggap “ada”, dan menjadi lawan dari kebanyakan kita melihat sesuatu sebagai penampakkan (appearance).
Untuk mempermudah pemahaman, kita perlu memberikan contoh lagi. Sebagian besar dari kita, baik yang belajar filsafat maupun tidak, sekurang-kurangnya melakukan pembagian tentang apa yang disebut “ada” menjadi dua: secara materi dan non-materi.
Bisa jadi ada orang yang bersikeras bahwa sesuatu yang ada itu hanyalah apa yang kita jumpai secara fisik yang berarti materialis. Apa yang disebut jiwa, ruh, dan Tuhan hanyalah khayalan belaka.
Di sisi lain, ada pihak yang membantah bahwa kenyataan sejati bukanlah apa yang kita alami melalui pancaindra. Ia melepaskan diri dari kerumunan dan bertanya tentang hakikat sesuatu di luar hiruk-pikuk modernisme yang serba materialis. Kemudian ia terilhami untuk mengatakan kenyataan sejati adalah ruh dan jiwa manusia.
Kita tidak sedang membahas perdebatan di atas. Kita hanya memiliki kepentingan untuk memahami bahwa: pertama, ontologi adalah perbincangan filsafat tentang apa yang ada atau apa realitas itu. Kedua, apa yang kita sebut realitas sejati tidaklah berdasar perspektif tunggal. Ada yang berpandangan materialis dan ada juga yang berpandangan esensi kenyataan adalah jiwa.
Dalam penyelidikan filsafat kemudian, apa yang kemudian disebut kenyataan bukan apa yang kita anggap kenyataan, tapi bagaimana para filsuf mendefinisikan kenyataan menurut mereka.
Saya kira penting untuk menekankan pengertian di atas. Hal ini sebagai upaya untuk menghindari perbincangan yang kerap terdengar atas sesuatu yang immaterial kemudian dituntut untuk memahaminya secara material belaka. Ini tidak akan ketemu! Bagaimana wujud ruh? Bagaimana gambaran fisik di surga? dan seterusnya.
Mungkin kita terlalu sering didekte dengan cara pikir materialisme, sehingga apa-apa harus ditinjau secara fisik agar dianggap masuk akal.
Kembali pada topik ontologi. Kalau yang ada adalah sesuatu yang dianggap esensial, maka kenyataan adalah suatu sudut pandang untuk mendefinisikan tentang apa yang dianggap ada. Misalnya, ada meja di ruang tamu, kita bisa tahu bahwa meja itu benar-benar ada.
Ketika kita ingat bahwa ahli fisika mengatakan bahwa ada tiga bentuk meja, maka kita menyadari dalam ingatan meja bukanlah satu tapi ada tiga.
Nah, baik ada tiga dalam pikiran dan ada melalui meja itu sendiri adalah kenyataan. Kenyataan kemudian bisa disebut tentang bagaimana seseorang mendefinisikan apa yang ada, dan kemudian dari apa kenyataan turut pula kita bisa menemukan apa yang sejatinya ada. Hal ini sebagaimana perbedaan pandangan materalis dan immaterial dalam melihat kenyataan tentang apa yang disebut ada.
Dalam buku “Pengantar Filsafat”, Louis Kattsoff lebih memaparkan lima pandangan yang berbeda tentang melihat kenyataan. Berikut lima pandangan ini secara singkat:
(1). Kenyataan yang Bersifat Kealaman (Naturalisme)
Pandangan ini menekankan bahwa apa yang dinamakan kenyataan haruslah mengandung unsur kealamaan (naturalisme). Artinya, kenyataan adalah apa saja yang kejadian yang terdapat di dalam ruang dan waktu, dan dapat dijumpai manusia, atau bisa dipelajari melalui prosedur keilmuan tertentu sehingga ia ditetapkan sebagai ada (misalnya bakteri).
Lain kata, pandangan ini menganggap apa yang berada di luar ruang dan waktu sekaligus tidak bisa dibuktikan keberaadaanya dengan ilmu-ilmu modern tidak layak dianggap sebagai kenyataan.
(2). Materialisme
Seorang penganut naturalisme bisa lebih merasuk pada apa yang terdalam dan secara lebih spesifik daripada mengatakan “alam” berpandangan bahwa substansi atau kenyataan sejati adalah apa yang kita sebut materi.
Pemahaman bahwa kenyataan asali adalah materi mengandung dua premis dasar. Pertama, segala sesuatu berasal dari materi yang menciptakan materi lain. Kedua, segala peristiwa dan kejadian manusia digerakkan oleh kaitannya dengan materi (seperti pandangan Karl Marx).
Garis Besar Pemikiran Karl Marx
(3). Idealisme
Pandangan naturalisme dan materialisme mendapatkan kritik dari idealisme. Kelompok ini menyatakan bahwa penjelasan bahwa alam atau bahkan materi tidak mencukupi untuk menjelaskan serangkaian kenyataan yang ada. Harus ada pengertian seperti jiwa dan ruh untuk menjembatani kita memahami materi dan alam semesta.
Definisi tentang idealisme dari G. Watts Cunningham berikut ini layak diperhatikan:
“idealisme merupakan suatu ajaran kefilsafatan yang berusaha menunjukkan agar kita dapat memahami materi atau tatanan kejadian yang terdapat dalam ruang dan waktu sampai pada hakikatnya yang terdalam. Maka dari segi logika, kita harus membayangkan adanya jiwa atau ruh yang menyertainya dan yang dalam hubungan tertentu bersifat mendasari hal-hal tersebut” (Cunningham, dalam Kattsoff, 2004: 217).
Saya kira pengertian dari Cunningham di atas sudah sangat jelas tentang pandangan idealisme terkait kenyataan. Kalau ditarik lebih jauh, nabi mazhab idealisme ini adalah Plato.
Baca Filsafat Plato Tentang Idea, Etika, dan Negara
(4). Hylomorfisme
Dari pandangan nomor satu sampai tiga keseluruhan membicarakan jawaban atas pertanyaan “apakah yang merupakan substansi terdalam?”. Kelompok hylomorfisme mengubahnya menjadi “apakah hakikat substansi itu?”.
Pertanyaan gubahan itu ketika timbul pemikiran bahwa bisa jadi substansi utama kenyataan bukanlah satu hal saja, melainkan tersusun dari ragam substansi yang lain. Beberapa pandangan misalnya: esensi dan eksistensi serta materi dan forma.
Sebagai contoh saja, ada anggapan bahwa esensi, sesuatu yang bisa dipahami secara akal seperti rumus segitiga matematika, kemudian menjadi eksistensi dalam melihat ukuran meja. Di sini esensi tentang sesuatu mendahului eksistensi.
(5). Positivisme Logis
Semua pandangan dari nomor satu hingga empat mendasarkan dirinya bahwa kenyataan adalah sesuatu realitas yang mereka akui atau alami. Positivisme logis berpandangan bahwa bahan baku itu bisa jadi sama (sama-sama pandangan naturalis atau idealis), tapi kemudian hasil pemikirannya bisa jadi berbeda. Hal ini karena struktur logika yang digunakan berbeda.
Pandangan positivisme logis melihat bahwa kenyataan itu berdasarkan metode penalaran-penalaran tertentu sebagai pengertian kenyataan, berikut menghapus metafisika sebagai bagian dari kenyataan.
Sekali lagi, lima pandangan ini adalah hipotes Kattssoff dalam menyelesaikan persoalan kaitan tipologi dan sudut pandang akan kenyataan. Kita bisa mengotak-atiknya kembali atau membuat ulang dengan dasar-dasar tertentu. Sebagai sebuah contoh memahamkan bahwa ada klasifikasi tentang apa yang ada dan apa yang disebut kenyataan, lima hal tersebut sudah sangat bagus.
Daftar Rujukan
Kattsoff, Louis. 2004. Pengantar Filsafat: Buku Pegangan untuk Mengenal Filsafat. Yogyakarta: Tiara Wacana.