Filsafat Kebahagiaan Epicurus (Epikurus)

Epicurus

Dua mazhab yang menonjol di Yunani selama era Hellenistis adalah epikurean dan Stoa. Pendiri masing-masing mazhab, Epicurus dan Zeno, dilahirkan di waktu yang hampir bersamaan, dan bermukim di Athena dengan mengembangkan ajaran filsafatnya masing-masing.

Epicurus, dan bukannya filsuf Stoa, yang pertama kali mengajarkan bahwa manusia dapat menemukan kebahagiaan meski sedang mengalami penderitaan.

Tulisan ini akan fokus pada Epicurus terlebih dahulu, dan pada tulisan selanjutnya kita akan membahas tentang stoa atau stoisisme.

Kita mulai dari pengenalan tokoh utamanya, yakni Epicurus itu sendiri.

Epicurus lahir pada tahun antara 342-341 SM, antara di Attica atau di Samos. Jelasnya di Samos ia melewatkan masa remajanya, dan semenjak usia delapan belas, ia pindah ke Athena.

Pada tahun 311 SM, ia mendirikan sekolahnya di Mitylene yang kemudian pindah ke Lampsacus. Namun semenjak tahun 307 SM, ia memindahkan sekolahnya ke Athena hingga ia meninggal pada tahun 270-271 SM.

Epicurus
(Ilustrasi Filsafat Kenikmatan Epicurus. Sumber Gambar: theschooloflife)

Di dalam perkumpulan Epicurus ada semacam ritual sumpah atau sahadah bahwa para muridnya atau pengikutnya dilarang mengubah halauan ajaran Epikureanisme, atau hanya memodifikasi saja. Dua ratus tahun setelahnya, Lucretius, pengikut Epikurean, menggubah ajarannya menjadi syair dan tanpa ada perubahan berarti dalam filsafat induknya.

Seperti telah disinggung dalam tulisan-tulisan sebelumnya, dengan pengecualian aliran skeptisisme, mazhab filsafat yang berkembang di era Hellenisme menekankan landasan untuk menjaga ketentraman batin beserta keutamaan manusia.

Apa keutamaan bagi manusia menurut Epicurus?

“Kenikmatan adalah awal dan akhir hidup yang penuh berkah”.

Diogenes Laertius memperjelas ungkap tersebu melalui buku “The End of Life” dengan perkataan:

”Aku tidak tahu bagaimana caranya menkonsepsikan kebaikan, jika aku menghindari kenikmatan lidah menghindari kenikmatan cinta, serta kenikmatan pendengaran dan penglihatan”.

Dalam bagian lainnya Laertius menulis:

 “Permulaan dan akar kebaikan adalah kenikmatan perut; bahkan kebijaksanaan dan kebudayaan pun harus dikembalikan pada hal ini”.

Bahkan apa yang disebut kenikmatan batin adalah perenungan dan hasil bulat pemikiran (bahasa gaulnya hari ini “kontemplasi”) dari kenikmatan-kenikmatan tubuh. Ringkasnya, keutamaan bagi manusia hanya bisa diartikan sama halnya dengan usaha mengejar kenikmatan semata.

Epicurus memandang filsafat harusnya adalah ilmu praktis yang mudah dipahami oleh orang awam sekalipun, bukan persoalan yang tergantung di langit dan susah dimengerti seperti yang diajarkan Plato (bandingkan dengan kaum Sinisme yang sudah kita bahas sebelumnya).

Pangkal filsafat harusnya fokus pada bagaimana manusia mendapatkan kebahagiaan, atau tepatnya kenikmatan.

Para hedonis pendahulu Epicurus membagi bentuk kenikmatan menjadi dua, yakni kenikmatan aktif (dinamis) dan pasif (statis). Kenikmatan dinamis adalah tercapainya kenikmatan yang dalam proses mendapatkannya disertai dengan penderitaan tertentu.

Sedangkan kenikmatan statis adalah wujud keseimbangan yang lahir dari semacam keadaan adanya keinginan seaindanya saja terjadi.

Contoh sederhana: memenuhi perut ketika perut keroncongan dan ketika aktifitas makan masih berlangsung demi menghilangkan penderitaan rasa lapar adalah kenikmatan dinamis, sedangkan kenikmatan statis adalah ketika muncul rasa tenang karena sebenarnya perut sudah kenyang, namun masih melanjutkan makan adalah kenikmatan statis.

Epicurus berpendapat bahwa kenikmatan yang benar adalah jenis kedua (kenikmatan statis) karena tidak membutuhkan penderitaan sebagai perangsang, dan ini adalah tipe kenikmatan sejati. Kondisi ekuilibrium ini adalah kondisi ideal kenikmatan tanpa penderitaan.

Kita harus mencapai kenikmatan dalam kondisi yang tenang, agaknya tidak rakus karena kelaparan saat makan, namun makan cukupan saja karena tidak ada upaya menghilangkan penderitaan.

Penjelasan di atas sekaligus menegaskan bahwa Epicurus menekankan dalam praktiknya tidak adanya penderitaan adalah paling utama, daripada nilai kenikmatan itu sendiri, sebagai cara mencapai keutamaan manusia.

Perut bisa jadi adalah akar dari segala jenis penderitaan atau penyakit, maka lebih baik menghindari derita perut daripada mengejar kerakusan saat makan.

Bagaimana dengan hubungan seksual sebagai contoh kenikmatan dinamis?

Epicurus konsisten tidak menyukai perilaku seksual yang meluap-luap, dan itu bisa membuat orang celaka. Lucretius juga berpandangan sama mencela seks, namun meredamnya dengan himbauan jangan disertai nafsu yang sangat bergejolak. Hal ini hampir serupa dengan analogi makan: dari dinamis harus jadi statis.

Epicurus juga menganjurkan kepada murid-muridnya agar menjauhi kehidupan publik dan tidak terlalu fokus pada aspek kebudayaan. Hal ini relevan dengan nasihatnya untuk menjauhi kehidupan politik, karena jika seseorang meraih kekuasaan akan mengakibatkan banyak kedengkian yang menyertai orang yang memperoleh kekuasaan tersebut.

Manusia bijak harusnya hidup biasa-biasa saja, dan tidak tampil menonjol. Di samping itu, Epicurus beranggapan kenikmatan sosial adalah paling aman dengan menjalin banyak persahabatan, meski makna persahabatan itu tidak lepas dari anggapan Epikurus bahwa manusia tetap memikirkan dirinya sendiri.

Gamblangnya, persahabatan adalah salah satu mekanisme sosial untuk memenuhi kebutuhan jika memerlukan bantuan.

Filsafat ini nampaknya sangat sesuai dengan Epicurus yang dalam hidupnya sakit-sakitan, atau untuk orang yang sedang menderita dan butuh mendapatkan penentram jiwa.

Beberapa anjurannya menguatkan hal tersebut:

“Sedikit makan, agar tidak sakit perut; sedikit minum, sebab cemas akan hari eso; menjauhi politik, percintaan, dan segala hal yang bernuansa menggairahkan; jangan mengikat diri kepada istri dan anak; di dalam batinmu, ajarilah dirimu untuk lebih banyak merenungkan kenikmatan daripada penderitaan”.

Singkatnya, hiduplah sedemikian rupa, semaumu, agar bisa menghindari penderitaan dan kecemasan.

Epicurus lebih jauh membangun kerangka teoritis filsafatnya dengan premis di atas. Penyebab kecemasan manusia adalah dua hal: agama dan rasa takut akan kematian, yang saling berkaiatan karena agama (yang dominan di sekitar masyarakat Epicurus) mengatakan kehidupan setelah kematian adalah akhir yang memisahkan manusia dari kebahagiaan. Setelah kematian, tidak adalagi kebahagiaan.

Di dalam Republik, Plato mendeskripsikan bahwa kecemasan akan kematian sudah begitu meluas di masyarakat Yunani, sehingga keberanian dan kebahagiaan yang ditunjukkan Socrates menjelang kematian menjadi suatu legenda tersendiri.

Melawan kecemasan tersebut, Epicurus meyakini bahwa Dewa tidak ikut campur urusan manusia, dan setelah jiwa manusia setelah meninggal seketika musnah.

“Kematian tak menjadi masalah bagi kita; sebab sesuatu yang musnah tak lagi memiliki sensasi, dan sesuatu yang tak memiliki sensasi tidak menjadi masalah bagi kita”.

Lain kata, kalau orang percaya setelah mati, maka tidak ada lagi kebahagiaan berdasarkan kepercayaan agama tertentu, buat apa mengejar kenikmatan dalam hidup yang singkat ini?

Hal ini berlandaskan pada kesadaran bahwa iman terhadap keabadiaan akan memupus harapan manusia mengejar kenikmatan dan sekaligus membebaskan diri dari penderitaan. Di sini Epicurus menentang ajaran agama demi membangkitkan gairah bagi jiwa-jiwa yang penat.

Epicurus memang pengikut Demokritus tentang teori atom yang menciptakan alam semesta, namun menolak pandangan determinasi alam yang mencirikan corak filsafat Yunani yang cenderung religius atau berbau ketuhanan.

Bisa jadi serangan bahwa tidak ada determinasi (dewa tidak ikut campur) adalah serangan terhadap agama agar manusia bisa menentukan nasibnya sendiri, bukan pada keabadiaan yang memadamkan semangat pembebasan.

*Sumber tulisan ini disarihkan dari buku Bertrand Russell berjudul “Sejarah Filsafat Barat” (2022). Pustaka Pelajar, Yogyakarta, khususnya bagian “Kaum Epikurean” hal. 328-343.

Penulis: Dian Dwi Jayanto

 

Baca Juga:

4 Hal Dasar Tentang Filsafat Stoisisme

Perjalanan Singkat Pemikiran Stoisisme: dari Zeno hingga Epictetus dan Marcus Aurelius

Pemikiran Plotinus: Trinitas Suci dalam Metafisika Neoplatonisme

Protagoras, Pemimpin Kaum Sofis

Leucippus dan Demokritos, Pelopor Filsafat Atomis

Kebangkitan Athena dan Filsafat Anaxagoras

Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments